
Kurikulum Baru: Antara Harapan dan Bikin Pusing Guru
Kurikulum Baru: Antara Harapan dan Bikin Pusing Guru
Setiap kali ada pergantian kurikulum, satu hal yang pasti: guru langsung angkat alis. Harapan tinggi dari pemerintah, semangat merdeka belajar, tapi di balik itu semua… banyak guru bingung, bahkan pusing tujuh keliling.
Apakah kurikulum baru ini solusi pendidikan Indonesia, atau malah nambah PR buat guru dan siswa? Yuk kita kupas realitanya bareng-bareng.
Kurikulum Ganti Mulu, Siswanya Bingung, Gurunya Lebih Bingung
Dari kurikulum 1994, KBK, KTSP, Kurikulum 2013, sampai sekarang Kurikulum Merdeka—perubahan kayaknya gak ada habisnya. Setiap menteri baru, semangat baru… kurikulum baru.
Tujuannya sih bagus:
-
Pendidikan harus adaptif
-
Siswa harus aktif, bukan pasif
-
Guru lebih bebas berkreasi
Tapi yang sering kejadian di lapangan: guru gak dikasih waktu cukup buat adaptasi. Sosialisasi singkat, pelatihan terbatas, lalu langsung diminta praktik. Ya pusing dong, Pak Bu!
Kurikulum Merdeka: Niatnya Merdeka, Tapi Kok Serasa Beban Tambahan?
Kurikulum Merdeka hadir dengan semangat positif: kasih keleluasaan buat guru dan siswa. Gak harus ngikutin buku teks mati. Guru bisa nyusun materi sesuai kebutuhan dan kondisi kelas.
Tapi… di lapangan?
-
Guru harus bikin modul ajar sendiri
-
Penilaian gak boleh cuma angka, tapi juga profil pelajar Pancasila
-
Harus nguasain teknologi digital, tapi gak semua sekolah punya fasilitas
Akhirnya, guru habis waktu nyusun administrasi, kurang fokus ke pengajaran. Ironi banget.
Siswa Sebenarnya Diuntungkan?
Sebagian iya. Karena:
-
Bisa belajar prediksi parlay sesuai minat (proyek, praktik, diskusi)
-
Gak cuma duduk, dengerin, dan nyatet
-
Belajar jadi lebih fleksibel dan relevan dengan kehidupan
Tapi… siswa juga bisa bingung kalau:
-
Gurunya belum siap
-
Fasilitas sekolah terbatas
-
Materi gak konsisten antar sekolah
Jadi ya… balik lagi ke kesiapan masing-masing sekolah.
Guru Jadi Tulang Punggung, Tapi Kurang Ditopang
Guru diharapkan jadi:
-
Fasilitator
-
Desainer pembelajaran
-
Penilai yang holistik
-
Penggerak komunitas belajar
Tapi banyak guru yang:
-
Gak punya waktu upgrade skill
-
Gaji masih kecil
-
Beban kerja makin besar
Mereka disuruh lari kencang, tapi sepatu aja belum dikasih.
Perlu Gak Sih Kurikulum Ganti-Ganti?
Perlu, asal:
-
Gak terlalu sering
-
Dampingi guru dengan serius
-
Fasilitasi dengan adil (gak cuma sekolah unggulan)
-
Libatkan guru dalam perumusan, bukan cuma disuruh jalanin
Karena pendidikan bukan tentang cepat berubah, tapi konsisten dan tepat sasaran.
Suara Guru di Lapangan
“Niatnya bagus, tapi kami gak diajak ngomong dari awal.”
“Modul-modul itu kayak tugas kuliah, bukan kerjaan sehari-hari guru.”
“Anak-anak semangat, tapi kami stres nyiapin materinya.”
Kalau suara guru diabaikan, kurikulum apapun gak akan maksimal. Mereka ujung tombak. Kalau mereka gak kuat, sistemnya ambruk.
Harapan Buat Masa Depan
Kurikulum Merdeka dan reformasi pendidikan bisa berhasil kalau:
-
Pemerintah dengerin suara guru, bukan cuma rapat di pusat
-
Pelatihan dibuat fun dan aplikatif, bukan cuma teori
-
Siswa diajak diskusi, bukan dijadikan kelinci percobaan
-
Semua sekolah, kota dan desa, dapet fasilitas yang layak
Kesimpulan
Kurikulum baru adalah harapan. Tapi jangan sampai harapan itu malah jadi tekanan. Guru bukan robot yang bisa langsung adaptasi dalam semalam. Mereka butuh waktu, support, dan kepercayaan.
Dan kita semua—siswa, orang tua, masyarakat—harus sama-sama dukung. Karena pendidikan itu kerja tim. Kalau guru bahagia, murid ikut bahagia. Dan masa depan Indonesia ikut cerah.